PANUTUNG TARUNG
Tulisan-tulisan yang kami publikasikan di website ini bersifat asli dan independen

MASYARAKAT ADAT DAN PENERTIBAN KAWASAN HUTAN
11 April 2025 | Destano Anugrahnu
Terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan menjadi babak baru bagi perjalanan dan perjuangan masyarakat adat. Khususnya pada Bab II pasal 2 baik ayat (1) dan (2) berpotensi untuk menjadi pemicu konflik baru dan memperpanjang rantai masalah antara Negara dan Masyarakat Adat yang nampak seperti jalan panjang tidak berujung.
Memang keberadaan pasal 4 dari peraturan ini nampak sekilas hanya menyasar pada aktivitas korporasi dan badan usaha resmi yang melakukan kegiatan bisnisnya pada kawasan hutan, akan tetapi sekali lagi keberadaan pasal 2 ayat 2 perpes ini bisa saja diinterpretasikan lain oleh satgas-satgas yang berada di akar rumput, sehingga ruang hidup masyarakat adat dan wilayah kelola rakyat bisa semakin terancam dengan adanya peraturan ini jika tidak dibaca secara utuh dan dipahami secara tuntas oleh pelaksana ditingkat akar rumput.
Peristiwa ini membuat Penulis memasuki sebuah refleksi yang melahirkan pertanyaan yakni, ‘Bukankah jika masyarakat termasuk didalamnya masyarakat adat menelantarkan tanahnya secara berturut-turut akan di ambil atau kembali pada penguasaan negara, lantas bagaimana jika selama ini Negara yang menelantarkan rakyat khususnya masyarakat adat, apa yang mesti layak dan pantas mereka ambil dari negara ini?' tentu harapan penulis bukan memprovokasi atau membangun gagasan pada hilir sebuah disintegrasi politik nasional, akan tetapi semestinya seluruh pemangku kebijakan juga berada dalam perenungan yang mendalam seperti demikian guna tidak selalu saja membuat aturan yang hanya menjadikan masyarakat adat sebagai arena malapraktek dari kesesatan kebijakan dan aturan tersebut.
Dalam tulisan ini setidaknya ada dua hal yang semestinya kurang mendapat pertimbangan dalam lahirnya Perpres ini yakni, bagaimana dengan daerah yang mayoritas wilayahnya adalah kawasan hutan dan RTRWPnya masih penuh dengan potensi masalah sebagai contoh di Provinsi Kalimantan Tengah? bahkan cukup banyak wilayah administratif desa sampai per hari ini didalam kawasan hutan, yang artinya sudah barang tentu wilayah perkebunan atau tempat mata utama pencahariannya didalam kawasan hutan, bukankah berpotensi untuk setiap saat menjadi bagian objek eksekusi dari peraturan ini.
Belum lagi jika kita bicara terkait ruang hidup masyarakat adat, meskipun Putusan Mahkamah Konstitusi no 35 tahun 2012 menyebutkan bahwa Hutan Adat bukanlah hutan Negara, akan tetapi sebagaimana kita ketahui untuk sampai pada pengakuan secara legal dari sebuah wilayah adat dan atau desa adat bahkan hutan adat adalah jalan panjang yang terjal untuk ditempuh oleh setiap masyarakat adat, sehingga wilayah yang telah mereka tetapkan secara keadatan sebagai wilayah kelolanya berpotensi terlebih dahulu dirampas menggunakan Perpres ini sebelum mendapatkan pengakuan dari Negara ini, sungguh sebuah ironi yang menuntut semua masyarakat adat berburu dengan waktu untuk mengamankan wilayah kelolanya.
Belum juga kita menemukan jalan dan upaya pengharmonisasian antara tata ruang dan konsep penguasaan dan pengelolaan hutan dan tanah versi masyarakat adat, negara melewati kebijakannya seperti yang terejewantahkan dengan Perpres penertiban Kawasan Hutan ini nampak mengukuhkan bukti bahwa negara masih saja enggan mengakui bahkan menjadikan masyarakat adat adalah warga kelas dua di negeri ini.
Terakhir, Ratio Legis dari Perpres ini nampak tidak berkesesuaian dengan yang tercantum dalam konsiderannya, berkaitan penyelesaian permasalahan tata kelola lahan pada kawasan hutan, Perpres ini lebih condong pada output guna penerimaan negara saja, yang justru berpotensi mengorbankan masyarakat adat, karena pengalaman panjang kita telah menguji target pertumbuhan atau pendapatan ekonomi tunggal selalu saja berujung pada rakyat yang terseret sebagai korbannya. Karena sebagaimana kita ketahui jika negara serius menyelesaikan permasalahan kawasan hutan, termasuk didalamnya guna perlindungan dan pelestarian lingkungan, bukankah negara tahu pula bagaimana masyarakat adat sangat tergantung pada tanah dan hutan untuk keberlanjutanya, maka tidak mungkin Negara membuat kebijakan pengahapusan kewajiban 20% setiap daerah mempertahankan kawasan hutannya dalam Undang-Undang Cipta Kerja, sehingga Perpres ini diduga kuat sebagai sebuah paradoks kebijakan yang membingungkan, akan tetapi jika kita boleh bertanya kembali, memangnya sejak kapan Negara pernah punya keberpihakan--kalaupun kata serius mengurus dan memperhatikan dianggap berlebihan bagi masyarakat adat?
*Penulis adalah Pegiat Sosial Masyarakat Adat dan Desa di Provinsi Kalimantan Tengah