Berita BIT

Tulisan-tulisan yang kami publikasikan di website ini bersifat asli dan independen

Fenomena Warung Sembako dengan Gaya Jual dan Isi yang Sama

28 Juli 2023 | Pebri Ayu Lestari

Apakah teman-teman yang sering ke lapangan juga merasakan hal yang sama seperti

dipikiran saya atau hanya pikiran saya yang berpikir seperti itu? (Sayangnya kita bukan

orang yang bisa membaca pikiran satu dengan yang lain)

Mengapa demikian, saat kelapangan daerah dampingan di Manuhing Raya

fenomena warung sembako dengan konsep dan isi jual yang sama tidak asing untuk kita

lihat contoh di desa Tumbang Oroi. Deretan warung itu ada dan hampir berdekatan, saat

kita hendak ke Luwuk Tukau atau ke Kecamatan Tehang maupun Ulek Luang, warung-

warung sembako tersebut sering kita lewati bahkan ada juga yang kita singgahi sekedar

untuk membeli jajanan snack dan minuman.

Menurut pendapat saya. Ada beberapa alasan mengapa warung sembako kecil banyak kita

jumpai di desa.

 Permintaan yang tinggi. Penduduk desa biasanya memiliki kebutuhan yang lebih

tinggi untuk barang-barang pokok, seperti beras, minyak goreng, gula, dan telur. Hal

ini karena mereka tidak memiliki akses yang mudah ke supermarket atau pasar

swalayan.

 Modal yang rendah. Untuk membuka warung sembako kecil, tidak diperlukan modal

yang besar. Hal ini karena barang-barang yang dijual di warung sembako biasanya

memiliki harga yang murah.

 Kemudahan akses. Warung sembako kecil biasanya terletak di lokasi yang mudah

dijangkau oleh penduduk desa. Hal ini karena penduduk desa biasanya tidak memiliki

kendaraan pribadi.

 Pelayanan yang baik. Pemilik warung sembako kecil biasanya lebih mengenal

pelanggannya dan memberikan pelayanan yang lebih baik. Hal ini membuat

pelanggan merasa lebih nyaman dan puas berbelanja di warung sembako kecil.

Selain alasan-alasan yang disebutkan di atas, warung sembako kecil juga banyak di desa

karena merupakan salah satu bentuk usaha yang sudah ada sejak lama dan menjadi bagian

dari budaya desa. Warung sembako kecil juga menjadi tempat berkumpulnya masyarakat

desa untuk bercengkerama dan bertukar informasi.


Faktanya tentu kita tahu bahwa daerah dampingan kita di Kecamatan Manuhing

Raya merupakan daerah kecamatan yang terbilang baru dari kecamatan tetangga yaitu

Kecamatan Manuhing yang beribu kota di Tumbang Talaken, yang mana Kecamatan

Manhuhing Raya mempunyai akses jalan yang masih tertinggal atau rusak, listrik yang masih

belum bisa masuk kedalam desa-desa dan bahkan jaringan internet maupun seluler juga

masih belum ada.

Nah, dengan hal demikian Kembali lagi dengan pertanyaan yang sama “Kok bisa ada

banyak warung sembako dengan jenis yang sama di Tumbang Oroi?”.

Saya sendiri pernah bertanya dengan salah satu pemilik warung sembako di

Tumbang Oroi yaitu Bapak Geterson atau Bapa Depri (nama akrab biasa dipanggil di desa),

beliau memiliki warung sembako yang dapat dikatakan hanya warung sembako beliau yang

ada di desa Tumbang Oroi pada saat saya bergabung di BIT tahun 2020 yang cukup lengkap.

Namun seiring berkembangnya ada banyak warung sembako yang meniru katakanlah

meniru warung sembako beliau.

Percakapan saya dengan Bapak Geterson:

“Ma, leha je are ampi warung sembako itah uluh lewu tuh je sama ih, maka ampi isi a sama

bajual kare ciki-ciki dengan kare es barenteng.

Jawab Bapak Geterson: Anu, helu te nah awi tengah a minjam melai koperasi jadi amun

minjam melai huang koperasikan harus tege usaha je gitan angat jelas guna duit je minjam

te akan narai guna.

“Oh, iyekah ma. En te nah tege kia ampi pandinu ewen te nah, maka bihin metuh tamparan

aku kan lewu tuh seingat ku warung ketun tuh ih je tege melai saran jalan tuh nah ma”

Jawab Bapak Geterson: Ye te tawa kia ampin itah uluh lewu tuh.

“Eweh je mili nah ma amun je uras sama”

Jawab Bapak Geterson: Umm, itah uluh lewu tuh kia ih, kare uluh je nagkalau ih.

Sekian percakapan singkat dengan Bapak Geterson, saya pun beropini hal itu terjadi

karena saya anggap mentalitas kita sebagai orang Dayak belum bisa berlatih dan mau

memulai hal baru dan mengambil resiko, jangan jauh-jauh ke Tumbang Oroi. Di Palangka

Raya ini saja kita bisa melihat ada banyak café-café dengan konsep yang sama, saya pikir kita

sebagai orang Dayak itu lemah untuk berkreativitas jiwa saing untuk bisnis yang belum siap

dan matang sehingga kita dikategorikan sebagai orang-orang yang latah dalam berbisnis,

ada yang meniru konsep dan gaya satu dan yang lain dan ada yang membuka bisnis dengan


konsep baru tetapi sepi pengunjung, karena menurut pendapat saya karakter orang-orang di

Palangka Raya hanya mencoba sekali dan ingin berfoto selanjutnya diunggah di sosial media

agar terlihat tidak tertinggal.

Nah, sama halnya dengan warung. Yang menjadi tugas kita sebagai generasi tabela

adalah bagaimana mengubah mentalitas atau gaya meniru dengan kreativitas kita.